Jakarta - Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman (Kolam Susu, Koes Ploes). Menyimak lagu 'Kolam Susu' Koes Ploes, akan membuat kita prihatin. Apalagi saat ini, negeri kita sudah sangat tergantung pada produk impor.
Produk impor tidak hanya dipajang di mal tapi juga sudah menyerbu pasar tradisional. Cabai, bawang, wortel, buncis, jamur, kentang, dan kacang polong impor kini dengan mudah bisa kita temukan di pasar tradisional kita.
Saat ini sayuran impor mulai menjadi primadona di masyarakat lantaran harganya lebih murah dibanding sayuran lokal. Hal inilah yang membuat sayur mayur lokal banyak yang tidak laku.
Sekjen Pedagang Pasar Tradisonal (PPT) Ngadiran mengatakan, banjir sayuran impor di pasar tradisional terjadi sejak 3 tahun lalu. Pedagang lebih senang menjual sayur impor karena harga yang murah sehingga untung besar.
Saat ini, misalnya, harga cabai impor dan lokal selisihnya sangat tipis. Cabai lokal Rp 14 ribu per kg. Sementara cabai impor Rp 12 ribu per kg. Harga yang jauh lebih murah ini tentu saja mempengaruhi pembeli.
“Sebab selisih Rp 1.000 saja para pembeli bisa beralih," ujar Ngadiran. Meski demikian, sebenarnya, rasa sayur-mayur lokal jauh lebih enak dibandingkan yang impor. Cabai lokal pedas dan menggigit. Sementara cabai Thailand sedikit pahit dan kurang pedas. Bawang merah impor kurang wangi dibanding bawang merah lokal. Tapi, meski berbeda rasa, dengan harga yang lebih murah dikhawatirkan pelan-pelan pembeli sayur-mayur di Indonesia bisa beralih ke sayur-mayur impor. "Kalau dicekoki terus lama-lama masyarakat ketagihan sayur impor. Dan petani sayur kita bakal menjerit," katanya.
Persoalan lainnya, banyak pedagang pasar yang nakal. Mereka banyak yang mencampur sayur-sayur lokal, seperti cabai, bawang merah, dan wortel, dengan yang impor. Akibatnya masyarakat tidak bisa membedakan mana yang impor dan lokal. Akibatnya merusak mutu sayuran lokal di pasaran.
Ketua Asosiasi Importir Sayur dan Buah (AISB) Kafi Kurnia mengakui saat ini banyak sayur impor masuk Indonesia. Namun sayur yang diimpor adalah sayur yang bersifat keras, seperti bawang, wortel, dan tomat. Kalau untuk sayur hijau seperti daun sawi, seledri dan lain-lain, tidak diimpor. "Kalau sayur hijau paling yang beku. Itu pun untuk hotel dan swalayan," kilah Kafi.
Kafi menampik importir juga mengimpor cabai. Sebab, produksi cabai petani Indonesia masih mencukupi. Jadi importir lebih tertarik impor bawang putih atau wortel yang dianggap kekurangan di Indonesia. "Kalau impor bawang putih dan wortel jumlahnya sangat besar. Tapi kalau cabai tidak.Apalagi singkong," jelas Kafi.
Namun keterangan AISB itu berbeda dengan catatan Dewan Tani Indonesia (DTI). Menurut Ketua Umum DTI Ferry Juliantono, 15 produk pertanian dan kelautan yang diimpor antara lain, garam, beras, jagung, kedelai, gandum, gula pasir, daging, singkong, serta bawang merah. Nilai impor produk pertanian itu mencapai US$ 5,36 miliar atau sekitar Rp 45 triliun.
"Kalau begini caranya masyarakat kita akan semakin kecanduan barang impor. Akibatnya petani bisa gulung tikar dan enggan menggarap lahan. Padahal kita negara agraris. Ini jadi ironi," tegas Ferry.
Ia menyesalkan Kementerian Perdagangan selalu mengemukakan alasan klise supaya leluasa mengimpor produk-produk pertanian. Misalnya alasan itu untuk mencegah stok dalam negeri dan menjaga harga-harga produk itu melambung tinggi.
Kementerian Perdagangan dinilai hanya berpandangan parsial yaitu pada sisi suplai dan kebutuhan saja. Tapi tidak berpandangan komprehensif dan integratif dengan sektor yang lain.
Pemerintah semestinya terlebih dahulu melakukan perlindungan terhadap para petani di dalam negeri. Dengan memberikan dukungan permodalan, pendampingan manajerial, pengelolaan pertanian, dan yang paling penting untuk menarik minat para petani adalah kepastian harga dan jaminan pembelian dari pemerintah atas hasil produksi pertanian.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam kurun waktu antara Januari sampai dengan Februari 2011, jumlah impor cabai segar mencapai 2.796 ton dengan nilai 2,49 juta dollar AS. Dibandingkan dengan laju impor tahun lalu, jumlahnya mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Pada tahun 2010 lalu, impor cabai hanya sebanyak 1.852 ton senilai 1,45 juta dollar AS. Akibat derasnya arus impor, harga cabai lokal pun menukik tajam.
Selain cabai, impor sayur-mayur lainnya juga melonjak tajam, yakni pada Januari-Februari senilai 82. 641.159 juta dollar AS. Padahal pada periode yang sama tahun 2010, nilai impor sayur-mayur asal China “hanya” 56.607.726 juta dollar AS. Jadi saat ini mengalami peningkatan impor sebesar 45,99 persen.
Bukan hanya sayuran, ikan juga ternyata banyak yang impor. Sekalipun negara Indonesia luas perairannya 70%, jumlah ikan impor dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Bila pada tahun 2007, hanya berkisar pada jumlah 145,2 ribu ton. Pada pada 2010 sudah meningkat menjadi 318,8 ribu ton. Jumlah ini tidak termasuk impor ilegal.
Impor buah angkanya juga tidak kalah banyaknya. Data BPS, Januari-Februari 2011 saja nilai impor buah yang masuk mencapai US$ 128,7 juta. Jumlah itu naik sebesar 63,87 persen dibandingkan pada periode yang sama yakni hanya sebesar US$ 78, 6 juta. Impor buah lebih banyak didominasi jeruk dan apel dari China, Argentina, dan AS.
Ironisnya, nilai ekspor buah Indonesia tidak berbanding lurus dengan nilai impor buah. Sebab pada 2010 tercatat nilai ekspor buah hanya sebesar US$ 297,9 juta, sedangkan nilai impor buah pada waktu yang sama mencapai angka fantastis, yakni US$ 655,4 juta.
"Kalau melihat banyaknya sayur, buah dan ikan impor sepertinya ungkapan tanah Indonesia layaknya tanah surga seperti lagu Koes Plus tidak akan berlaku lagi. Sebab saat ini hasil pertanian impor yang membanjiri pasar. Hal ini membuat petani enggan menggarap tanahnya karena takut rugi," pungkas Ferry.
(iy/nrl)
Produk impor tidak hanya dipajang di mal tapi juga sudah menyerbu pasar tradisional. Cabai, bawang, wortel, buncis, jamur, kentang, dan kacang polong impor kini dengan mudah bisa kita temukan di pasar tradisional kita.
Saat ini sayuran impor mulai menjadi primadona di masyarakat lantaran harganya lebih murah dibanding sayuran lokal. Hal inilah yang membuat sayur mayur lokal banyak yang tidak laku.
Sekjen Pedagang Pasar Tradisonal (PPT) Ngadiran mengatakan, banjir sayuran impor di pasar tradisional terjadi sejak 3 tahun lalu. Pedagang lebih senang menjual sayur impor karena harga yang murah sehingga untung besar.
Saat ini, misalnya, harga cabai impor dan lokal selisihnya sangat tipis. Cabai lokal Rp 14 ribu per kg. Sementara cabai impor Rp 12 ribu per kg. Harga yang jauh lebih murah ini tentu saja mempengaruhi pembeli.
“Sebab selisih Rp 1.000 saja para pembeli bisa beralih," ujar Ngadiran. Meski demikian, sebenarnya, rasa sayur-mayur lokal jauh lebih enak dibandingkan yang impor. Cabai lokal pedas dan menggigit. Sementara cabai Thailand sedikit pahit dan kurang pedas. Bawang merah impor kurang wangi dibanding bawang merah lokal. Tapi, meski berbeda rasa, dengan harga yang lebih murah dikhawatirkan pelan-pelan pembeli sayur-mayur di Indonesia bisa beralih ke sayur-mayur impor. "Kalau dicekoki terus lama-lama masyarakat ketagihan sayur impor. Dan petani sayur kita bakal menjerit," katanya.
Persoalan lainnya, banyak pedagang pasar yang nakal. Mereka banyak yang mencampur sayur-sayur lokal, seperti cabai, bawang merah, dan wortel, dengan yang impor. Akibatnya masyarakat tidak bisa membedakan mana yang impor dan lokal. Akibatnya merusak mutu sayuran lokal di pasaran.
Ketua Asosiasi Importir Sayur dan Buah (AISB) Kafi Kurnia mengakui saat ini banyak sayur impor masuk Indonesia. Namun sayur yang diimpor adalah sayur yang bersifat keras, seperti bawang, wortel, dan tomat. Kalau untuk sayur hijau seperti daun sawi, seledri dan lain-lain, tidak diimpor. "Kalau sayur hijau paling yang beku. Itu pun untuk hotel dan swalayan," kilah Kafi.
Kafi menampik importir juga mengimpor cabai. Sebab, produksi cabai petani Indonesia masih mencukupi. Jadi importir lebih tertarik impor bawang putih atau wortel yang dianggap kekurangan di Indonesia. "Kalau impor bawang putih dan wortel jumlahnya sangat besar. Tapi kalau cabai tidak.Apalagi singkong," jelas Kafi.
Namun keterangan AISB itu berbeda dengan catatan Dewan Tani Indonesia (DTI). Menurut Ketua Umum DTI Ferry Juliantono, 15 produk pertanian dan kelautan yang diimpor antara lain, garam, beras, jagung, kedelai, gandum, gula pasir, daging, singkong, serta bawang merah. Nilai impor produk pertanian itu mencapai US$ 5,36 miliar atau sekitar Rp 45 triliun.
"Kalau begini caranya masyarakat kita akan semakin kecanduan barang impor. Akibatnya petani bisa gulung tikar dan enggan menggarap lahan. Padahal kita negara agraris. Ini jadi ironi," tegas Ferry.
Ia menyesalkan Kementerian Perdagangan selalu mengemukakan alasan klise supaya leluasa mengimpor produk-produk pertanian. Misalnya alasan itu untuk mencegah stok dalam negeri dan menjaga harga-harga produk itu melambung tinggi.
Kementerian Perdagangan dinilai hanya berpandangan parsial yaitu pada sisi suplai dan kebutuhan saja. Tapi tidak berpandangan komprehensif dan integratif dengan sektor yang lain.
Pemerintah semestinya terlebih dahulu melakukan perlindungan terhadap para petani di dalam negeri. Dengan memberikan dukungan permodalan, pendampingan manajerial, pengelolaan pertanian, dan yang paling penting untuk menarik minat para petani adalah kepastian harga dan jaminan pembelian dari pemerintah atas hasil produksi pertanian.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam kurun waktu antara Januari sampai dengan Februari 2011, jumlah impor cabai segar mencapai 2.796 ton dengan nilai 2,49 juta dollar AS. Dibandingkan dengan laju impor tahun lalu, jumlahnya mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Pada tahun 2010 lalu, impor cabai hanya sebanyak 1.852 ton senilai 1,45 juta dollar AS. Akibat derasnya arus impor, harga cabai lokal pun menukik tajam.
Selain cabai, impor sayur-mayur lainnya juga melonjak tajam, yakni pada Januari-Februari senilai 82. 641.159 juta dollar AS. Padahal pada periode yang sama tahun 2010, nilai impor sayur-mayur asal China “hanya” 56.607.726 juta dollar AS. Jadi saat ini mengalami peningkatan impor sebesar 45,99 persen.
Bukan hanya sayuran, ikan juga ternyata banyak yang impor. Sekalipun negara Indonesia luas perairannya 70%, jumlah ikan impor dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Bila pada tahun 2007, hanya berkisar pada jumlah 145,2 ribu ton. Pada pada 2010 sudah meningkat menjadi 318,8 ribu ton. Jumlah ini tidak termasuk impor ilegal.
Impor buah angkanya juga tidak kalah banyaknya. Data BPS, Januari-Februari 2011 saja nilai impor buah yang masuk mencapai US$ 128,7 juta. Jumlah itu naik sebesar 63,87 persen dibandingkan pada periode yang sama yakni hanya sebesar US$ 78, 6 juta. Impor buah lebih banyak didominasi jeruk dan apel dari China, Argentina, dan AS.
Ironisnya, nilai ekspor buah Indonesia tidak berbanding lurus dengan nilai impor buah. Sebab pada 2010 tercatat nilai ekspor buah hanya sebesar US$ 297,9 juta, sedangkan nilai impor buah pada waktu yang sama mencapai angka fantastis, yakni US$ 655,4 juta.
"Kalau melihat banyaknya sayur, buah dan ikan impor sepertinya ungkapan tanah Indonesia layaknya tanah surga seperti lagu Koes Plus tidak akan berlaku lagi. Sebab saat ini hasil pertanian impor yang membanjiri pasar. Hal ini membuat petani enggan menggarap tanahnya karena takut rugi," pungkas Ferry.
(iy/nrl)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar