ANTARA News

Senin, 15 Agustus 2011

Kebangkrutan Daerah Tanggung Jawab Pemerintah Pusat

Kegagalan otonomi daerah yang belakangan terjadi bukan semata-mata tanggung jawab pemerintah daerah saja, tapi pemerintah pusat juga harus bertanggungjawab.
SETELAH diberlakukannya Undang Undang No 22/1999 tentang Otonomi Daerah, pemekaran wilayah administratif menjadi kecenderungan baru dalam struktur pemerintahan di Indonesia. Kemudian pembentukan otonomi daerah diatur dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007. Sejak itulah banyak terjadi pemekaran daerah baru.
Kalau dihitung, sampai dengan 10 tahun terakhir sejak otonomi diberlakukan, Indonesia memiliki pemekaran tertinggi di dunia, tercatat sebanyak 250 daerah baru. Namun sayangnya, dari jumlah tersebut, pemekaran dilakukan tanpa proses yang matang sehingga masyarakat tidak diuntungkan dari proses tata kelola pemerintah. Pada tahun ini, ada 491 kabupaten/kota dan 33 provinsi.
Sekarang ini, menurut Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementrian Dalam Negeri Re-publik Indonesia Prof Dr H Djohermansyah Djohan, MA pekan ini, sebanyak 173 usulan peme-karan dari berbagai daerah, kini mengantre di Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia. 

Sebanyak 33 di antaranya calon provinsi, sedangkan 140 lainnya, kabupaten/kota. Meski jumlahnya banyak, namun sejak moratorium tahun 2009 sampai Juni 2011 belum ada daerah yang disetujui untuk dimekarkan, karena masih menunggu selesainya pembahasan desain tentang otonomi.
Disebutkannya, saat ini pemerintah masih menunggu selesainya revisi undang-undang ten-tang otonomi daerah. "Menunggu selesainya desain besar penataan daerah, menunggu selesai evaluasi. Nanti kalau sudah dibahas dan ditetapkan di DPR, mudah-mudahan tahun ini selesai," katanya seraya menyebutkan semua itu nantinya akan dimasukkan dalam kebijakan perubahan UU No 32 tentang Otonomi Daerah.
Jika regulasi tersebut telah selesai, pemekaran baru dimulai. Termasuk membahas usulan-usulan yang masuk dan melakukan pengkajian daerah otonomi baru. "Tentunya dengan menggunakan aturan main yang baru," katanya seraya menambahkan usulan yang ada sekarang ini masih belum diproses.
Selama ini, tak dapat dipungkiri bahwa pemekaran pemerintah daerah ini telah menimbulkan tekanan terhadap APBN akibat adanya sejumlah dana yang harus ditransfer kepada pemerintah daerah baru. Menurut Syarif Syahrial, Peneliti LPEM FEUI, memang motivasi untuk membentuk daerah baru tidak terlepas dari adanya jaminan dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Dalam era desentralisasi ini, bentuk dana transfer ini dikenal sebagai dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), serta Dana Bagi Hasil baik bagi hasil pajak maupun bagi hasil sumber daya alam. Aliran dana inilah yang akan ditransfer kepada pemerintah daerah termasuk pemerintah daerah baru berdasarkan kriteria dan formula tertentu.
Terlihat jelas bahwa setiap ada daerah pemekaran, beban APBN akan semakin bertambah besar. Apalagi jika daerah yang dimekarkan tersebut adalah pemekaran pemerintah provinsi. Fakta telah menunjukkan setiap ada pemekaran provinsi, maka akan diikuti pula dengan pemekaran kabupaten/kota di provinsi baru tersebut.
Hal ini menyebabkan terjadinya suatu perekonomian daerah berbiaya tinggi. Lebih jauh lagi timbul pula tuduhan bahwa pemekaran wilayah merupakan bisnis kelompok elit di daerah yang sekadar menginginkan jabatan dan posisi. Euforia demokrasi dan partai-partai politik yang memang terus tumbuh, dimanfaatkan kelompok elit ini untuk menyuarakan ”aspirasinya” mendorong terjadinya pemekaran.
Akibatnya, seperti dikatakan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, terjadilah kebangkrutan di sejumlah daerah, disebabkan semangat otonomi yang berlebihan yang berujung pada pemekaran-pemekaran wilayah. Kalla mengatakan pemekaran menyebabkan biaya belanja daerah tinggi.
"Sementara pendapatan asli daerah (PAD) belum bisa segera ditingkatkan, karena baik daerah induk maupun yang dimekarkan membutuhkan beberapa penyesuaian," katanya.
Bahkan data LSM Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) memperkiraan akan terjadi kebangkrutan di 124 daerah di Indonesia, dua-tiga tahun mendatang. Ancaman tersebut diakibatkan belanja pegawai yang lebih besar dari belanja modal.
Hal ini terjadi karena kemampuan Dana Alokasi Umum dari pusat juga masih rendah, sehingga hanya habis untuk belanja pegawai, ujarnya. Sementara itu, masih banyak daerah baik daerah pemekaran maupun yang lama, masih melakukan perekrutan pegawai melebihi kebutuhan, sehingga terjadi pembengkakan anggaran rutin dan biaya-biaya yang tidak penting lainnya.
Pemerintah pusat tentu harus bertanggung jawab atas kondisi keuangan pemerintah daerah yang dalam kondisi bangkrut. Oleh karenanya, pemerintah pusat harus melakukan upaya untuk memperbaiki kondisi tersebut. Pemda yang bangkrut harus dilakukan pendampingan.
"Sudah saatnya pemerintah pusat memetakan daerah mana yang digarap lebih awal," kata peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, Rabu (13/7). Dasarnya sudah jelas, evaluasi pemda sudah tertuang dalam PP No 6/2008 tentang Evaluasi Kinerja Pemda. Pemda yang memiliki kinerja buruk itu merupakan tanggung jawab pemerintahan di atasnya.
Tanggung jawab yang dipikul pemerintah pusat merupakan bagian dari hirarki pemerintahan. Hirarki tersebut menyebabkan pemerintahan di tingkat atas memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki kinerja pemerintahan di tingkat bawahnya. Pemprov juga bertanggungjawab atas kinerja pemkab/pemkot. Zuhro tidak sependapat dengan wacana menyerahkan pengelolaan keuangan daerah kepada pusat. "Tidak bisa begitu, kan ada otonomi daerah. Kita harus konsisten juga," katanya.
Untuk itu, saat moratorium pemekaran daerah masih berlaku, daerah pemekaran harus dikuatkan. Dalam masa ini, bisa saja terjadi penggabungan daerah pemekaran jika daerah pemekaran itu tidak miliki sumber daya manusia (SDM) yang tidak memadai. Selain itu, penggabungan juga bisa dilakukan jika daerah itu tidak memiliki potensi ekonomi yang baik, seperti tidak ada masukan kepada APBD dan terjadi stagnasi.
Menanggapi hal itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi tetap tidak mau mengakui ada kegagalan dalam sistem otonomi daerah (Otda). “Memang ada kekurangan, tetapi tidak bisa dikatakan gagal,” ujarnya pekan lalu. Sekarang ini, pusat sudah membuat rencana pembangunan lengkap dengan master plan penguatan ekonominya”. Dia yakin semuanya bakal membaik kalau setiap daerah mampu menonjolkan potensi-potensi mereka.
Di samping itu, akan ada evaluasi-evaluasi menyeluruh terhadap setiap daerah. Bagi daerah yang baru dimekarkan, evaluasi akan dilakukan setelah tiga tahun berjalan. Untuk daerah nonpemekaran, akan dilakukan evaluasi setiap saat. “Termasuk memaksimalkan dewan otonomi daerah supaya mampu memberikan masukan-masukan berarti,” jelasnya. (rud) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar