Ketika Minggu siang keadaan sempat mereda di Tottenham, London utara, dan tambahan polisi sudah dikerahkan, banyak orang London yang tetap kaget.

Walau kerusuhan di jalanan Ingris bukan pertama kali terjadi -seperti di Brixton, London selatan pertengahan 1990- kali ini terjadi setahun menjelang Olimpiade dan setelah serangan terorisme di pusat kota London. Mestinya, atau sebutlah harapannya- ya kepolisian London lebih siap.
Dan ketika kerusuhan dan penajrahan ternyata meluas sampai puluhan kilometer dari Tottenham, tempat pertama unjuk rasa damai yang berkembang jadi kerusuhan- orang lebih kaget lagi. Kawasan pertokoan di dekat rumah saya di London tenggara, berada sedikitnya 25 kilometer dari Tottenham, juga terkena kerusuhan walau tidak separah di tempat-tempat lainnya.
Dan di balik kekagetan itu sekaligus pula, mulailah muncul pertanyaan dan sedikit kemarahan. Paling tidak begitulah yang ada di benak saya, warga Indonesia yang sudah tinggal di London 15 tahun lebih.Setelah tiga hari beberapa bagian London terbakar, kerusuhan dan penjarahan menyebar lagi ratusan kilotmeter ke luar kota London, seperti Liverpool dan Manchester. Kemarahan rasanya lebih mengemuka dibanding pertanyaan.
Pengerahan polisi
Sumber kemarahan saya begini. Hingga Selasa siang, hanya sekitar 6.000 polisi yang dikerahkan di London. Dan para politisi -seperti Perdana Menteri David Cameron, Walikota London Boris Johnson, Menteri Dalam Negeri Theresa May, serta pemimpin oposisi Ed Miliband- memperpendek liburannya.
Barulah kemudian polisi ditambah menjadi 16.000. Apakah untuk mengerahkan polisi -ketika gambar-gambar kebakaran di sejumlah tempat di London menyebar ke seluruh dunia- harus diperlukan kebijakan politik?
Barulah kemudian polisi ditambah menjadi 16.000. Apakah untuk mengerahkan polisi -ketika gambar-gambar kebakaran di sejumlah tempat di London menyebar ke seluruh dunia- harus diperlukan kebijakan politik?
Buat saya hal tersebut keterlaluan. Mungkin bisa diterima untuk sebuah kota di negara berkembang, juga mungkin bisa diterima untuk sebuah kota atau negara yang tidak pernah dilanda kerusuhan jalanan.
Apalagi untuk sebuah kota yang akan menggelar Olimpiade, tak sampai setahun lagi. "Apa kata dunia," mengutip pernyataan di film Jenderal Naga Bonar.
Perdana Menteri Cameron sepertinya jadi lebih mementingkan politik. Masak sih mengerahkan polisi harus menunggu dia pulang liburan dan rapat khusus dulu. Jadi, paling tidak buat saya, terkesan panggung politiknya sama penting dengan keamanan di lapangan. Padalah mestinya terbalik.
Kemarahan juga berakar dari pernyataan perdana menteri dan kepala polisi yang menegaskan akan mengambil tindakan tegas. Persoalannya adalah anak-anak muda yang lontang lantung di musim libur -karena tentu tak semua keluarga mampu membayar biaya liburan- maupun para penjarah tulen yang mengambil kesempatan dalam kesempitan sepertinya belum melihat tindakan tegas itu, sampai pada hari ketiga.
Cepat tanggap?
Di London suasana memang sudah mereda, Rabu 10 Agustus atau empat hari setelah awal kejadian.

Saya masih sulit menerima sebuah pemerintahan kota London yang tidak bisa bergerak cepat. Mungkin karena suasana liburan musim panas yang relatif santai. Juga banyak anak muda dan remaja yang lontang lantung tidak karuan sehingga gampang terprovokasi atau ikut-ikutan.
Banyak seruan dari pemuka masyarakat maupun polisi yang meminta para orang tua melarang anaknya ke luar rumah supaya tidak terjadi gerombolan-gerombolan penonton -yang bisa memicu aksi para perusuh dan penjarah- dan sekaligus terikut untuk ambil bagian.
Kini beberapa wilayah London yang terkena dampak kerusuhan dan penjarahan mulai bersih-bersih dan saya yakin tak sedikit pengusaha yang mempertanyakan apakah memang bisa mengandalkan kepolisian untuk keamanan penuh bisnisnya.
Jelas bahwa kerusuhan di London dan beberapa kota di Inggris sama sekali tidak mencerminkan kesiapan aparat keamanan untuk Olimpiade London 2012. Untuk hal-hal yang direncanakan jauh-jauh, mungkin tidak perlu ada kekhawatiran.
Tapi kerusuhan dan penjarahan yang terjadi selama empat hari belakangan -dengan harapan tidak berlanjut lagi- bisa menjadi cermin reaksi cepat tanggap yang lamban, yang tidak semestinya untuk sebuah kota kosmopolitan yang menjadi salah satu pusat keuangan dunia.
Sebuah lembaga, sebuah negara, atau sebuah pemerintahan -menurut saya- baru terkategori baik jika punya reaksi cepat tanggap yang baik pula, bukan sekedar untuk hal-hal yang terencana jauh-jauh hari saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar