ANTARA News

Kamis, 22 September 2011

Ambon Rusuh Perlu Dipastikan Direncanakan Atau Spontan

Jakarta - Empat hari berlalu, belum jelas titik terang siapa pelaku dan apa motif bentrokan di Ambon. Masyarakat Ambon, dan Maluku pada umumnya khawatir bentrokan ini akan meluas seperti pada kasus konflik Ambon tahun 1999 hingga 2002 silam. Mereka masih dihantui trauma dengan konflik Ambon yang berbau SARA itu.

Terlebih akhir-akhir ini banyak SMS peringatan akan terjadi bentrok yang lebih besar dan ajakan untuk tidak mempercayai kelompok agama lain. "Hati-hati konflik Ambon akan menjadi besar," demikian salah satu bunyi SMS yang beredar dan meresahkan warga Ambon.

Mabes Polri telah mengirimkan 13 anggotanya ke Ambon guna melakukan penyelidikan dan penyidikan. Ke-13 anggota ini ditugaskan untuk memburu para pelaku yang diduga sebagai provokator dan pengirim SMS gelap tersebut.�

"Kita serius bekerja untuk mencari SMS yang beredar. Kita imbau agar masyarakat bisa segera melaporkan ke polisi," imbuhnya.�

SMS gelap ditengarai sebagai pemicu bentrok Ambon 11 September 2011 lalu. SMS berisi berita kematian Darfin Saimen, seorang tukang ojek disertai ajakan berbuat anarkis. SMS yang beredar menyebur Darfin tewas dianiaya, padahal penyelidikan polisi menyimpulkan ia tewas karena tabrakan.�


Pemerintah melalui Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Djoko Suyanto pun menjamin tidak akan membiarkan bentrokan di Ambon berlarut-larut. Karenanya, provokator dan pengirim SMS itu akan terus diburu. "Ini yang sedang dicari. Nomornya masih ada, kepolisian juga sudah ada," kata Djoko.

Selain mengusut siapa pelaku, tugas yang tidak kalah penting bagi polisi adalah memastikan apakah bentrok itu direncanakan atau hanya spontan. Bila memang dalam peristiwa ada suatu tindakan yang direncanakan, maka penting bagi aparat keamanan untuk mencari bukan hanya pelaku di lapangan, tapi menemukan aktor utama perencananya. Aparat kepolisian harus jeli dan cermat dalam menelusuri bukti-bukti peristiwa bentrokan ini.�

"Kita tahu bahwa sebagian peristiwa konflik SARA di Indonesia, di masa lalu tidak lepas dari adanya aksi provokasi dari pihak tertentu yang memang direncanakan," jelas Direktur Program Imparsial, Al Araf.

Pengamat politik dan pemerhati masalah Ambon dari Universitas Gajah Mada (UGM) Najib Azca mengingatkan tidak mudah membuktikan adanya provokator dalam bentrokan Ambon. Tapi Najib yakin adanya provokator itu.�

Menurut Najib, bentrokan itu tidak muncul secara tiba-tiba. Sebelum bentrokan, ada beberapa isu krusial yang mendahului yang memanaskan antar kelompok, misalnya kerusuhan dalam pemilihan rektor di Universitas Pattimura. Dalam pemilihan rektor ini isu muslim dan Kristen pun muncul.

Yang perlu diwaspadai saat ini adalah mulai memanasnya suhu politik menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) di Maluku. Walau memang masih lama pelaksanaannya, ini banyak pihak tertentu yang mulai ramai ancang-ancang untuk melakukan mobilisasi dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub), artinya mulai ada gerakan-gerakan yang muncul untuk mendukung tokoh tertentu.�

"Ini semakin memanas. Jadi ini kemungkinan provokator itu ada sangat mungkin, tapi harus cermat melihatnya," ungkap Najib yang baru beberapa bulan melakukan studi ke Ambon ini.

Sosiolog Universitas Indonesia (UI) yang juga pemerhati masalah Ambon, Tamrin Amal Tamagola, menilai pola bentrokan Ambon pada 11 September itu serupa dengan awal peristiwa Konflik Ambon tahun 1999. Pola bentrokan dilakukan sebelum atau setelah lebaran Idul Fitri. Lalu membuat onar dengan membakar sesuatu di dekat tempat ibadah.

Saat itulah kabar burung beredar atau dihembuskan untuk memprovokasi massa. "Dulu tahun 1999, cukup dengan Rp 1.000 Ambon rusuh. Dengan koin Rp 100, menelpon lewat telepon umum dan Ambon terbakar. Sekarang dengan SMS. Kok intelijen dan polisi tidak mampu menyadap?" kritik Thamrin.

Untungnya saat ini masyarakat sudah tidak lagi mudah diprovokasi sehingga rusuh Ambon tidak akan membesar seperti konflik pada 1999. Masyarakat sudah sadar pentingnya perdamaian dan menyadari hanya menjadi korban politik saja.

"Kami salut kepada anak muda Ambon yang tidak ikut-kutan bawa parang atau golok. Mereka sudah tahu bahwa tidak bisa lagi dijadikan korban atau tumbal politik lokal ataupun nasional. Mereka bisa menyelesaikan sendiri, tidak perlu menggunakan pasukan yang akan kontraproduktif," tandasnya.

Selain itu, elite politik lokal juga telah sudah lebih dewasa. Tidak berselang lama kerusuhan meletus, sejumlah raja lokal dan pimpinan adat langsung mengeluarkan maklumat perdamaian. "Dan itu dituruti. Raja-raja lokal masih diakui dan berwibawa. Sistem raja di tingkat lokal masih efektif seperti Raja Toleho yang mengeluarkan maklumat dan itu bagus," tegas pria asal Maluku ini.

(iy/vit) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar