ANTARA News

Kamis, 22 September 2011

Polisi Tak Profesional, Ambon Rusuh Jangan Disimpulkan Karena Persoalan Agama

Jakarta - Bentrokan yang meletus di Ambon jangan disimpulkan disebabkan persoalan agama. Seharusnya bisa belajar dari konflik Ambon pada 1999-2001. Investigasi Kontras, pada konflik 1999-2002, jelas menemukan keterlibatan anggota-anggota TNI dan Polri di setiap ranting dalam konflik.

"Justru selama ini agama hanya digunakan sebagai alasan di publik untuk memelihara kekerasan," kata Koordinator Kontras Haris Azhar.

Namun, sayang temuan Kontras tidak ditindaklanjuti oleh pihak-pihak yang saat itu menerimanya, yakni Amien Rais selaku Ketua MPR, Akbar Tandjung selaku Ketua DPR dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) selaku Presiden.

Untuk mengatasi konflik Ambon waktu itu yang dipilih adalah respons Perjanjian Malino dari duo Menteri Koordinator (Menko), yaitu Menko Polhukam yang saat itu dijabat SBY dan Menko Kesra yang saat itu dijabat oleh Jusuf Kalla (JK).

Dalam perjalanannya Kontras mendapatkan temuan Deklarasi Malino justru ditinggalkan pemerintah. Peran negara sangat minim dan kaku. "Dalam temuan hasil pemantauan Kontras, ada beberapa hal dari perjanjian Malino yang 'ditinggal pergi' pelaksanaannya oleh pemerintah. Akhirnya masyarakat yang melakukan inisiasi-inisiasi perdamaian," kata Haris.

Kini ketika muncul bentrokan kembali, Haris menyesalkan pendekatan pasca bentrok yang kaku. Mengatasi bentrok 11 September, pemerintah melakukan penambahan pasukan Brimob dan pelibatan TNI seolah-olah ada ancaman perang internal. "Padahal hari-hari ini kondisi sudah membaik. Pasar-pasar sudah dibuka, sebagai contoh," jelas Haris.


Harus diakui masih ada persoalan besar yang belum tuntas pasca penandatanganan Deklarasi Malino. Dengan kondisi seperti itu, peluang terjadi bentrokan dan kerusuhan masih besar. Kematian tukang ojek Darfin Saimen hanya pemicu saja dalam persoalan besar yang ada di Ambon.

Pengamat masalah Ambon dari UGM Najib Azca mengungkapkan, setidaknya ada tiga persoalan besar yang belum tuntas. Pertama, isu segregasi atau pemisahan komunitas Muslim dan Kristen.

Sebelum konflik terjadi pada 1999, dua komunitas tersebut menyatu dan berbaur. Tapi sejak konflik, 2 komunitas ini terpisah kembali. Namun upaya rekonsiliasi kedua kelompok belum tuntas.

"Artinya trust di antara kedua belah pihak yang belum terbangun. Memang ada sebagian kecil dari kedua kelompok ini berani berbaur, tapi sebagian besarnya masih takut," terang Najib yang pernah melakukan studi dan penelitian di Ambon ini.

Kedua, problem sosial yang muncul, seperti tukang ojek Darfin Saimen adalah warga Muslim yang mengalami kecelakaan dan meninggal dunia di kawasan Kristen. Hal ini tentunya menjadi sebuah teritorial yang begitu penting yang belum terselesaikan.

Ketiga, persoalan pengungsi dan pengangguran juga belum terpecahkan di Ambon. Kota Ambon, walau pulaunya kecil tapi padat penduduk dan pemukiman, serta kumuh. "Ini sangat kondusif ke arah kekerasan. Wajar bila tiba-tiba terjadi konflik dan gampang tersulut," jelas Najib lagi.

Direktur Program Imparsial Al Araf juga sependapat masyarakat Ambon pasca konflik memang belum sepenuhnya stabil. Meski pun perdamaian telah terjadi, namun luka masa lalu belum sepenuhnya pulih dan sedikit banyak masih ada perasaan luka masa lalu di sebagian masyarakat. Luka masa lalu inilah yang berpeluang memicu kerusuhan.

"Kadang ini menjadi pemicu terjadinya bentrokan, apalagi ada pihak yang memanfaatkan dan memprovokasi," ujarnya kepada detik+.

Menko Polhukam Djoko Suyanto mendukung dihilangkannya pemisahan antara pemukiman Muslim dan Kristen. Namun untuk saat ini, menurut Djoko, hal itu belum bisa dilaksanakan.

Pemerintah, tegas Djoko, tentu saja sangat menginginkan adanya kehidupan masyarakat di Ambon yang berbhineka dan saling membaur satu sama lain. "Hanya saja, suasananya pasca bentrokan masih hangat. Makanya jangan ketemu dulu supaya jangan berantem," tegas Djoko.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar