ANTARA News

Minggu, 26 Februari 2012

Siasat Judi Sponsor Miranda


Jakarta Langit Jakarta mendung Jumat pagi, 27 Januari 2012 itu. Tapi cuaca buruk itu tidak membuat surut Miranda S Gultom untuk beraktivitas. Pagi-pagi sekali mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) itu keluar dari rumahnya dengan mengendarai mobil Alphard B 169 OM.

“Ibu pergi mengajar ke UI,” kata Yanto, penjaga rumah Miranda kepada majalah detik di rumah Miranda di Jl Sriwijaya Raya 14, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Tidak ada aktivitas berarti di rumah Miranda yang bercat putih dan dilingkari pagar setinggi 1,5 meter itu. Hanya terlihat 3 orang tukang yang sedang memperbaiki bagian belakang rumah Miranda.

Pengacara Miranda, Dodi Suhartono, mengatakan, meski telah ditetapkan sebagai tersangka, Miranda tetap menjalankan aktivitas seperti biasa. Apalagi, kata Dodi, saat ini Miranda belum menerima surat resmi dari KPK soal penetapannya sebagai tersangka kasus cek pelawat senilai Rp 24 miliar kepada sejumlah anggota Komisi Keuangan DPR periode 1999-2004.

"Tapi pada prinsipnya kami akan selalu siap dengan langkah-langkah yang akan diambil KPK," ujar Dodi.

Namun yang pasti, penetapan tersangka terhadap Miranda menimbulkan secercah harapan kasus cek pelawat itu bisa terurai semua. Miranda dianggap tahu siapa penyandang dana untuk pemenangan dirinya sebagai DGS BI. 



Agus Condro, orang yang pertama kali membongkar kasus cek pelawat itu, mengatakan, penetapan tersangka terhadap Miranda bisa jadi pintu masuk untuk memburu rente yang mensponsori suap. Sebab tidak mungkin ia menjadi penyumbang dana Rp 24 miliar yang digelontorkan ke sejumlah anggota DPR.

"Nilai suapnya saja kan yang ketahuan Rp 24 miliar. Kalau dilihat dari penghasilan dia kan sekitar Rp 15 miliar. Masa nombok?" tanya pria yang kini sudah menghirup udara bebas itu.

Menurut Agus, kekayaan Miranda pada 2001 yang dilaporkan ke Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) hanya sekitar Rp 6 miliar. Dengan asumsi itu, Agus menyangsikan harta Miranda bisa menembus di atas Rp 20 miliar pada Juni 2004. Namun Agus mengaku tidak tahu siapa sponsor yang memodali pembelian cek pelawat itu.

Soal siapa sponsor Miranda, mantan Ketua Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein mempunyai jawabannya. Menurut Yunus, sponsor tersebut adalah bank-bank bermasalah. Salah satu deputi gubernur BI saat diperiksa KPK di PPATK pernah membuat pengakuan pemilihan deputi senior gubernur BI biasanya ada sponsor-sponsor. “Biasanya sponsor-sponsor itu bank-bank bermasalah," kata Yunus yang kini menjadi anggota majelis eksaminasi kasus cek pelawat Indonesia Corruption Watch (ICW) di ICW, Jl Kalibata Raya IV, Jakarta Selatan, Jumat, 27 Januari 2012.

Bagi Yunus, hal wajar jika ada pihak yang ingin menjadi sponsor seorang calon DGS BI. Dengan menjadi sponsor, seseorang bisa menguasai informasi dan akses dunia perbankan Indonesia.

"Apalagi BI banyak policy seperti open market operation, jual beli SBI (Sertifikat Bank Indonesia) dalam rangka intervensi di pasar. Kalau informasi itu diperoleh tentunya bisa memberi keuntungan. Orang jadi bisa mengambil keuntungan atau paling tidak mencegah kerugian bagi dirinya," imbuh Yunus.

Bila Yunus menilai wajar adanya sponsor, Miranda justru mempertanyakan kenapa ada pihak yang mau mengeluarkan uang banyak untuk pemenangannya. Pasalnya, lanjut Dodi, fungsi DGS BI tidak langsung menyangkut ke dunia perbankan.

Yang menjadi urusan DGS BI hanya masalah mikro, yakni terkait inflasi atau suku bunga. Tidak menyentuh ke dalam kebijakan terhadap perbankan.

"Kami menduga, ibarat main judi ternyata ada yang main pinggiran. Jadi tak tahu siapa yang masang, " kata pengacara Miranda, Dodi Suhartono. Miranda berharap pengadilan Tipikor yang akan mengungkap siapa sponsor cek pelawat itu.

Tapi sumber majalah detik di KPK mengatakan KPK sudah mencium indikasi adanya sponsor dalam pemenangan Miranda. Tidak beda jauh dengan omongan Yunus, beberapa sponsor itu merupakan pengusaha perbankan nasional. Namun untuk menyeret para sponsor itu, kata sumber itu, KPK belum memiliki cukup bukti. KPK hanya punya keterangan satu saksi.

"Ada beberapa pengusaha perbankan yang ikut patungan untuk beli cek itu. Mereka kemudian memesan ke Artha Graha, yang kemudian ternyata Artha Graha membeli cek itu ke BII," ujar sumber itu.

Sebelumnya KPK memang sudah memanggil sejumlah pihak swasta yang dianggap punya kaitan dengan cek pelawat tersebut. Salah satunya dari Bank Artha Graha yakni Kepala Kantor Cabang PT Bank Artha Graha Cabang Pemuda, Arifin Djaja, Kepala Divisi Treasury PT Bank Artha Graha, Gregorius Suryo Wiarso dan pegawai Bank Artha Graha bagian treasury, Suparno.


Pegawai Artha Graha diperiksa lantaran Artha Graha merupakan pembeli cek pelawat dari Bank BII yang dibagikan kepada 30 mantan anggota DPR. Cek pelawat itu kemudian diberikan ke PT Wahana Esa Sejati milik Nunun Nurbaetie, istri mantan Wakapolri Adang Darajatun. Nah, dari kantor Nunun selanjutnya cek itu mengalir pada 30 anggota Komisi keuangan DPR yang berasal dari Fraksi PDIP, TNI/Polri, PPP, dan Golkar.

Bukan hanya Artha Graha, untuk memperjelas siapa pemilik dana yang dibagi-bagikan itu KPK juga sudah memanggil Direktur PT First Mujur Hidayat Lukman alias Teddy Uban. Namun Hidayat tidak kunjung datang memenuhi panggilan KPK.

Pemanggilan bos PT First Mujur itu terkait aliran cek pelawat dari Artha Graha. Pasalnya, Bank Artha Graha membeli 480 lembar cek perjalanan dari BII untuk PT First Mujur Plantation and Industry, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang agro industri, terutama kelapa sawit.

Saat itu, PT First Mujur memerlukan cek pelawat untuk pembayaran uang muka pembelian lahan kelapa sawit 5.000 hektar di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Di mana, tanah tersebut dibeli dengan berpatungan dengan seorang bernama Fery Yen.

Kemudian, diketahui Fery Yen mengurus pembelian dan dia juga yang minta dibayar dengan cek pelawat berjumlah Rp 24 miliar yang nilainya masing-masing Rp 50 juta per lembar.

Cek yang seharusnya berada di tangan Fery kemudian sampai ke tangan PT Wahana Esa Sejati, perusahaan milik Nunun Nurbaeti yang saat ini sudah mendekam di rutan Pondok Bambu. Selanjutnya, dari perusahaan PT Wahana Esa Sejati, cek pelawat itu akhirnya mengalir ke anggota Komisi Keuangan DPR periode 1999-2004.

Namun Fery Yen tidak bisa dimintai keterangan karena meninggal pada 7 Januari 2007, sebelum kasus ini dibongkar Agus Condro. Nunun sendiri hingga kini juga belum mengungkap siapa sponsor yang memberikan cek pelawat tersebut. Pengacara Nunun, Mulyaharja mengatakan kliennya tidak tahu soal sponsor cek pelawat.

“Dia hanya seputar memperkenalkan Miranda kepada anggota DPR, selanjutnya klien saya tak tahu menahu soal kelanjutan hubungan mereka,” kata Mulyaharja.


Sementara Manajer Direktur Grup Sinar Mas (GSM) Gandhi Sulistiyant menampik pihaknya terlibat suap cek pelawat. Menurut Gandhi, soal keterlibatan perusahaan milik Eka Tjipta Wijaya ini tidak terbukti dalam beberapa kali investigasi yang dilakukan. “Nggak ada sama sekali,” kata Gandhi.

Kuasa hukum Bank Artha Graha Otto Hasibuan, juga memberikan bantahan. Menurutnya, Artha Graha tidak ada kaitan apa-apa dengan kasus cek pelawat."Artha Graha tidak ada urusan apa-apa," terangnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar