ANTARA News

Jumat, 25 Maret 2016

Ekonomi Kerakyatan

Ketika Pemerintah memutuskan untuk mencabut subsidi BBM pada bulan Februari 2005 yang lalu, dan menggantikannya dengan dana kompensasi untuk pendidikan dan kesehatan bagi penduduk yang miskin, maka reaksi yang muncul adalah kemarahan dari banyak kalangan karena sudah bisa dibayangkan bahwa kehidupan akan makin terasa sulit. Kenaikan harga BBM dengan sendirinya akan memicu kenaikan harga barang dan biaya transportasi, dan kompensasi yang disediakan tidak akan bisa menggantikan biaya yang harus dikeluarkan untuk kebutuhan sehari-hari. Padahal masih banyak cara-cara lain yang lebih baik dapat ditempuh sebelum melakukan pencabutan subsidi BBM. 

Meningkatnya kebutuhan sehari-hari dan makin sulitnya tingkat kehidupan sebenarnya sudah lama dialami dan dirasakan oleh masyarakat luas. Namun ini lebih terasa lagi sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1997 yang menyebabkan antara lain menurunnya kemampuan daya beli masyarakat sampai dengan 30%. Keadaan diperparah lagi dengan dicabutnya berbagai subsidi, sebagai bagian dari progam IMF yang dipercaya akan memulihkan perekonomian Indonesia. Akibat yang terasa langsung adalah makin mahalnya ongkos pendidikan dan juga kesehatan. Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi hal ini adalah membuat berbagai proyek yang pendanaannya antara lain didapatkan dari lembaga kreditor dan donor luar negeri antara lain proyek Jaring Pengaman Sosial. Namun sebagai-mana halnya dana kompensasi BBM, proyek semacam Jaring Pengaman Sosial tidak menjawab masalah makin mahalnya pendidikan dan kesehatan serta meningkatnya kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin. 


Pertanyaan yang patut diajukan adalah benarkah Indonesia tidak memiliki pilihan lain selain mencabut subsidi untuk meringankan APBN? Benarkah kebijakan fiskal dan APBN yang sekarang dianut merupakan satu-satunya solusi bagi pemulihan perekonomian Indonesia? Seperti ditegaskan oleh Profesor Sri-Edi Swasono, subsidi mengandung posisi strategis dalam people empowerment, suatu tugas nasional untuk memberdayakan masyarakat, untuk membangun dan meningkatkan keprakarsaan rakyat. Bagi Prakarsa, adanya suatu sistem kesejahteraan sosial, yang memungkinkan negara tetap memberikan subsidi, sehingga Indonesia bisa memperbaiki peringkat Indeks Pembangunan Indonesia adalah mungkin. Hal ini tentu saja bisa dilakukan dengan melakukan reformasi di berbagai bidang, baik masalah korupsi, sistem pajak, kebijakan fiskal, orientasi kebijakan makro ekonomi.

Buku yang ditulis oleh Profesor Sri-Edi Swasono ini menunjukkan bahwa kesejahteraan sosial adalah idealisme yang diakui oleh Indonesia sebagai kewajiban “melindungi segenap bangsa Indonesia” dan untuk memenuhi hak warga negaranya, sebagaimana tertera pada konstitusi kita, UUD 1945. Namun demikian, Indonesia tidak memenuhi kewajiban konstitusionalnya, sebagaimana kita lihat sekarang. Profesor Sri-Edi Swasono menerangkan dengan rinci bahwa sebab tidak terpenuhinya hak warga negara adalah karena terjadinya pergeseran paham negara kesejahteraan kenegara yang lebih mementingkan lancarnya mekanisme pasar. Dalam Bab “Daulat Pasar vs Daulat Rakyat” ia mengemukakan bahwa dalam negara yang memberlakukan daulat pasar maka yang terjadi adalah pemangsaan yang lemah oleh yang kuat, dan negara tidak lagi menjadi nation-state, tetapi menjadi corporate state. Hal ini pada gilirannya akan membunuh berbagai upaya untuk pemberdayaan ekonomi rakyat dan lebih jauh lagi kemandirian rakyat. 

Hal yang penting dalam buku ini adalah adanya penjelasan teoritis yang cukup detil mengenai berbagai konsep kesejahteraan sosial. Penjelasan ini sangat berguna bagi pembaca untuk memahami secara lebih mendasar filosofi kesejahteraan sosial serta perkembangan pemikiran tentang hal ini. Kami berharap bahwa buku ini bisa membantu membuka wawasan bahwa “a prosperous and glorious Indonesia is possible”, diawali dengan back to basics.

Disarikan dari tulisan 
Binny Buchori
Sumber
https://irfanwineers.wordpress.com
http://theprakarsa.org/

Mata Kuliah LEB Supawi Pawenang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar