ANTARA News

Jumat, 25 Maret 2016

KONSEP WELFARE EKONOMI

Oleh :
Mukhmad Makmur

Konsep welfare atau konsep ekonomi kesejahteraan merupakan study mengenai apa yang salah atau benar mengenahi berfungsinya perekonomian, hal ini berhubungan langsung dengan tindakan pemerintah dalam perekonomian campuran dalam mengunakan kebijakan fiscal dan pengaturan untuk memodifikasi distribusi pendapatan yang dilakukan pasar, dan menyediakan jasa-jasa bagi penduduk.[1]bisa diartikan konsep wellfare merupakan, negara yang pemerintahannya bertanggung jawab penuh untuk memenuhi dan menyediakan berbagai kebutuhan dasar sosial semua kalangan dan ekonomi dari setiap warga negara agar mencapai suatu standar hidup yang sejahtera dan makmur[2]
Konsep welfare (konsep ekonomi kesejahteraan) sama saja dengan system ekonomi kerakyatan, suatu system  adalah suatu sistem ekonomi yang menjamin keterlibatan rakyat sebagai subyek yang mengendalikan jalannya roda ekonomi negara, atau suatu sistem perekonomian yang menjamin dilakukannya “produksi oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau kepemilikian rakyat”. [3]

Hal di atas sesuai dengan UUD Pasal 33 yang berbunyi[4] ” perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan” maka memang ada kata kerakyatan tetapi harus tidak dijadikan sekedar kata sifat yang berarti merakyat, undang-undang ini merupakan pengilhaman dari sistem welfare,  jadi  sistem ini sudah yang berpihak pada masyarakat dan untuk memperjuangkan masyarakat kecil untuk kesejahteraan bersama sudah ada mulai zaman dulu[5] hal ini pernah di ungkapkan oleh Bung Hatta mengenahi misi pasal 33 UUD 1945 yaitu untuk kemakmuran dalam artaian kemampuan pemenuhan kebutuhan materiil yang berarti pendapatan riil.[6]
Muncul pasal ini dikarenakan pada zaman penjajahan Belanda yang dipraktekan tidak membawakan kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan, yang dirasakan Indonesia pemerasan kaum buruh, perampasan tanah rakyat, penindasan kemerdekaan yang membuat sensara tidak ada kemakmuran, yang ada hanya unsur kapitalis. Hal inilah yang melatarbelakangi munculnya pasal 33 UUD.[7]
Unsur kapitalis masih melekat pada era kemerdekaan sampai saat ini, membuat perekonomian di Indonesia masih mengalami ketimpangan dan tidak meratanya pendapatan. Karena kapitalis hanya bemuara pada pencarian keuntungan sebanyak-banyaknya sehinga golongan yang mempunyai modal besar dalam persaingan sangatlah mudah untuk menjatuhkan golongan yang modal minimum[8]
Unsur kapitalis tidaklah cocok diterapkan dalam perekonomian di Indonesia karena uang hanya berputar-putar pada golongan yang mempumyai modal besar dan tidak ada pemberian ruang untuk kaum miskin, dan mereka tidak ada perubahan hal ini tidak ada bedanya dengan zaman penjajahan.
Dengan demikian menjadi jelas, bahwa Ekonomi Kerakyatan lebih merujuk pada sistem perekonomian yang secara konstitusional (seharusnya) berlaku di Indonesia. Sedang Ekonomi Rakyat adalah sektor-sektor ekonomi yang dihuni oleh pelaku ekonomi yang berukuran kecil, yang keadaannya serba terbelakang. Sektor-sektor itu di antaranya UKM, KUK, KUD, sektor pertanian rakyat, sektor perikanan rakyat, sektor transportasi rakyat, sub-sektor industri kecil dan rumah tangga, termasuk perkreditan rakyat. Ekonomi rakyat juga sering disebut sektor informal, karena keterbelakangannya dan dalam volume produksi yang sangat kecil serta tidak dilengkapi dengan ijin usaha secara formal. [9]
Melihat peran pemerintah sebagai pasar terbesar dan penabung terbesar, [10]sekaligus  berfungsi untuk menstabilkan perekonomian makro dan untuk menerapkan keadilan, walaupun pasar tidak selalu menghasilkan suatu distribusi pendapatan yang adil, suatu ekonomi pasar mungkin menghasilkan ketidak adilan dalam pendapatan dan konsumsi yang tidak dapat diterima oleh orang-orang yang berhak memilih. Hal ini yang di alami pasar perekonomian indonesia yang mana banyak bangunan-bangunan mall, supermacet, indomaret, alfamart dan lain-lainya.[11]
Keberadaan bagunan-bagunan tersebut yang berdiri tegak ditengah-tengah pasar trdisional, tempat tansaksi rakyat biasa tidak bisa lepas dengan peran pemerintah dengan memberikan izin untuk membangun, dengan keberadaannya- bagunan mall dapat menimbulakan ketimpangan pendapatan, lambat tahun dengan beriringnya waktu dan adanya perizinan bagi pemilik modal besar akan mengakibatkan penjajahan pasar di Negara sendiri,  dan putra daerah hanya menjadi pegawai-pegawai, kuli-kuli mungkin lebih parah dari itu apabila kondisi ini tidak dicegah dan adanya kebijakan yang berpihak pada rakyat.
Dikarenakan perperangan antara pasar tradisional dan pasar modern, dengan kondisi pasar trdisional apa adanya tidak ada pengolahan dan perhatian yang khusus untuk membuat betah para konsumen sedangkan kondisi pasar modern ada penenganan khusus dan pemanajemenan yang ditangani oleh yang ahli, melihat inipun dapat diprekdisi kemenangan berpihak pasar modern.
Kalau kita menoleh pada masa lampau yang dialami bangsa arab, Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi bangsa arab di masa Nabi Muhammad terus meningkat. Kondisi Welfare State yang tercatat dalam sejarah telah  dicapai hingga pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz (61-101 H) salah satu Khalifah Dinasti Muawiyah. Tingkat kemakmuran masyarakat sangat tinggi, bahkan tidak ada masyarakat yang tergolong miskin untuk memperoleh bantuan dari negara. Kondisi ini telah mengaplikasikan suatu sistem yang dapat di terima oleh masyarakat dengan keseimbangan  dalam berbagai aspek kehidupan.[12]Apakah indonesia dapat mencapai seperti kondisi zaman Nabi Muhamad sampai zaman umar abdul aziz yang sudah berjalan beratus-ratus tahun dengan sistem perekonomian yang makmur?

DAFTAR PUSTAKA
Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus,  Makro Ekonomi, PT. Gelora Aksara           Pratama, Jakarta, Edisi Keempat Belas, 1995,
Sri-Edi Swasono, Sistem Ekonomi Dan Demokrasi Ekonomi, Jakatra, UI-Press, 1987
M.Rusli Karim, Dinamika Ekonomi dan Iptek dalam Pembangunan, Yogyakarta, PT         Tiara Wacana, 1992
Adiwarman, A karim, Ekonomi Makro Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo persada,2007 ,
Paul A. Samuelson & William D. Nordhaus, Ilmu Makro Ekonomi, Jakarta, PT Media       Global Edukasi, 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar