ANTARA News

Jumat, 25 Maret 2016

Realita Politik Pasca Reformasi


Realita perpolitikan negara Indonesia, khususnya pasca 1998, ketika roda reformasi dan demokrasi yang kemudian sebagian diserahkan ke partai politik (Parpol) -yang merupakan salah satu pilar demokrasi-, ternyata tak berjalan mulus. Kontrak demokrasi antara rakyat dan Parpol melalui Pemilu, kemudian merenggang. Salah satu penyebabnya adalah partai politik kita yang tak mampu mengelola isu demokrasi itu sendiri dengan bijak dan cerdas pada tingkat internal partai untuk kemudian diformulasikan sebagai kebijakan politik partai. Partai sebagai pilar demokrasi, justru menjadi faktor yang menghambat. Partai tak lebih hanya sebagai ajang bagi pertarungan antara pemenuhan kepentingan segelintir elit dengan kepentingan rakyat.
Partai politik adalah salah satu dari infra struktur politik, sedangkan infra struktur politik di Indonesia meliputi keseluruhan kebutuhan yang diperlukan di bidang politik dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas yang berkenaan dengan asal mula, bentuk, dan proses pemerintahan pada suatu Negara. Oleh karena itu ada organisasi partai politik yang resmi tampak seperti partai politik, perkumpulan buruh, tani, nelayan, pedagang, organisasi wanita, pemuda, pelajar, militer, dan lain-lain. Tetapi terdapat organisasi abstrak yang tidak resmi namun sangat menguasai keadaan sebagai elit power, disebut juga dengan grup penekan (pressure group) seperti kelompok kesukuan, fanatisme keagamaan, dan bisa melalui kelompok tertentu yang berdasarkan alamamater.

Kondisi seperti ini sesungguhnya telah berlangsung dalam enam tahun belakangan ini. Disinilah kita melihat bahwa partai politik kita belumlah dewasa. Dan ini lebih disebabkan karena belum adanya pembaharuan dalam perilaku manusianya. Satu hal yang kita dambakan ke depan adalah adanya kedewasaan para elit Partai politik (parpol) lazimnya adalah sebagai sebuah “media” atau “alat” atau “saluran” untuk mendemonstrasikan lakon-lakon politik guna menggapai tujuan serta memenuhi keinginan dan kepentingan bersama. Dalam paradigma semacam ini, posisi parpol sangatlah sentral, yang harus menjadi fokus. Parpol adalah milik bersama, tidak ada pembatasan kepentingan individu.
Bercermin pada apa yang disebut di atas, setidaknya ada dua alasan untuk mengatakan bahwa parpol kita dalam bahaya. Pertama, belajar dari pengalaman pada pemilu-pemilu yang lalu, parpol lebih condong pada perlakuan untuk pengeksploitasian kehendak rakyat dari pada sebagai media bagi perjuangan kepentingan rakyat. Partai politik dicitrai mengeksploitasi rakyat untuk berpihak kepadanya, khususnya pada saat pemilu. Lebih lanjut, rakyat akan tetap dininabobokkan pada posisi yang serba bodoh, seolah-olah menggantungkan nasibnya pada segelintir orang partai (elit), dan tidak tau apa-apa. Rakyat kemudian memiliki sejarah yang sangat jauh dari partai. Pada saat yang sama pajangan parpol kita sarat dengan kata-kata “demokrasi” “persatuan”, “amanat”, “reformasi” dan “karya” “keadilan” dan (bahkan) “pembaharuan”. Sejumlah anggota masyarakat menyesuaikan diri dan dikendalikan oleh kehendak elit politik. Kedua, parpol kita terkesan seperti sebuah “perluasan” kepentingan segelintir orang daripada penyederhanaan kepentingan bersama.
Fenomena di atas ini tentunya tidak sesuai dengan tujuan terbentuknya partai politik, dimana partai politik ini merupakan sekelompok manusia yang terorganisir dan stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaanpemerintahan bagi pimpinan partai dan berdasarkan penguasaan ini akan memberikan manfaat bagi anggota partainya, baik idealisme maupun kekayaan material serta perkembangan lainnya.


Sumber
https://irfanwineers.wordpress.com
http://theprakarsa.org/
Mata Kuliah LEB Supawi Pawenang
www.uniba.ac.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar