ANTARA News

Jumat, 25 Maret 2016

belajar-seperti-petani

Ini merupakan ikhtiar agar para jamaah terus-menerus melatih cara berpikir dengan selalu mencermati persoalan dirinya maupun melihat realitas di sekelilingnya sehingga jamaah semakin lebih akurat mengenali dirinya dengan jalan mempelajari ke dalam dan ke belakang.
Ini merupakan upaya pembelajaran yang mengajak jamaah untuk memahami asal-usul pengetahuan yang didapatnya. Ketika jamaah membaca dan berusaha menganalisis, maka implikasinya “aksi mengagumi” akan dituntut secara mendalam terhadap “apa” yang dikagumi. Sehingga, tidak berhenti pada mengagumi, tidak berhenti pada menikmati, tidak berhenti pada mendapatkan mangga siap santap.
Artinya Jamaah Maiyah melihat ke dan dari dalam; inilah yang menjadikan jamaah akan memahami secara luas, tidak hanya sekadar menatap namun tidak melihat, karena tidak mengetahui apa yang ditatap secara dekat, hanya mengetahui sebatas permukaan belaka.
Di zaman dahulu, kaum sekolahan sinis kepada petani, bahwa pengetahuan petani hanya seluas tanah yang digarapnya. Jangan membayangkan setiap petani di Jawa memiliki lahan garapan puluhan hektar. Ambil contoh, data BPS 2004 mencatat rata-rata kepemilikan lahan petani semakin turun dari 0,58 hektar pada tahun 1983 menjadi 0,47 hektar pada tahun 1993.

peradaban-bayi-bayi

Bayi adalah tahap manusia ketika sama sekali masih belum mengerti beda antara keinginan dengan kebutuhan. Bayi ditemani staf-stafnya Tuhan  untuk menunjukkan kepada Ibunya apa yang ia butuhkan, tapi si bayi itu sendiri tidak mengerti bahwa itu kebutuhan.
Kasdu dulu mendengar Markesot pernah nyeletuk, “Sekarang ini sampai dewasa manusia tidak belajar membedakan antara keinginan dengan kebutuhan. Rancangan pembangunan, kreasi kebudayaan dan teknologi, hampir seluruh sisi peradaban ummat manusia di abad ini, menunjukkan sangat jelas ketidakmengertian pelaku-pelakunya bahwa yang mereka bangun dengan gegap-gempita itu bukan kebutuhan, melainkan keinginan.”
“Yang berlangsung sekarang ini adalah peradaban bayi-bayi. Bayi tidak bisa disalahkan, meskipun ia membanting gelas, melempar Ibunya dengan piring, atau bahkan membakar rumah. Bayi tidak percaya, atau tepatnya, belum paham, ketika dikasih tahu bahwa yang ia lakukan adalah perusakan dan penghancuran”.
“Saya sudah bersumpah kepada diri saya sendiri”, kata Markesot, “tidak akan ngasih tahu apa-apa kepada bayi. Bayi memimpin masyarakat, menjadi kepala negara, menyusun pasal hukum, mendaftari para calon penghuni neraka, menjadi pemegang urusan hal-hal yang ia muati dengan keinginan dan nafsunya. Tidak. Saya tidak akan senggol mereka. Kecuali hal itu menjadi bagian dari tagihan Tuhan kepada saya kelak di akhirat, saya tidak akan sentuh. Dan apakah itu tagihan atau bukan, saya tidak punya pengetahuan kecuali Tuhan menginformasikannya kepada saya”.

Ekonomi Kerakyatan

Ketika Pemerintah memutuskan untuk mencabut subsidi BBM pada bulan Februari 2005 yang lalu, dan menggantikannya dengan dana kompensasi untuk pendidikan dan kesehatan bagi penduduk yang miskin, maka reaksi yang muncul adalah kemarahan dari banyak kalangan karena sudah bisa dibayangkan bahwa kehidupan akan makin terasa sulit. Kenaikan harga BBM dengan sendirinya akan memicu kenaikan harga barang dan biaya transportasi, dan kompensasi yang disediakan tidak akan bisa menggantikan biaya yang harus dikeluarkan untuk kebutuhan sehari-hari. Padahal masih banyak cara-cara lain yang lebih baik dapat ditempuh sebelum melakukan pencabutan subsidi BBM. 

Meningkatnya kebutuhan sehari-hari dan makin sulitnya tingkat kehidupan sebenarnya sudah lama dialami dan dirasakan oleh masyarakat luas. Namun ini lebih terasa lagi sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1997 yang menyebabkan antara lain menurunnya kemampuan daya beli masyarakat sampai dengan 30%. Keadaan diperparah lagi dengan dicabutnya berbagai subsidi, sebagai bagian dari progam IMF yang dipercaya akan memulihkan perekonomian Indonesia. Akibat yang terasa langsung adalah makin mahalnya ongkos pendidikan dan juga kesehatan. Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi hal ini adalah membuat berbagai proyek yang pendanaannya antara lain didapatkan dari lembaga kreditor dan donor luar negeri antara lain proyek Jaring Pengaman Sosial. Namun sebagai-mana halnya dana kompensasi BBM, proyek semacam Jaring Pengaman Sosial tidak menjawab masalah makin mahalnya pendidikan dan kesehatan serta meningkatnya kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin. 

IDE WELFARE STATE NKRI


Bila membaca ulang UUD 1945, akan tertangkap spirit yang sangat kuat bahwa the founding fathers sejatinya ingin membangun Indonesia menjadi negara kesejahteraan modern (modern welfare state). Kata-kata emas preambul konstitusi, “…..membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia… untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial….”
Pemikiran para pendiri bangsa tentang negara kesejahteraan lahir karena mereka mengenyam pendidikan Eropa, menjalin pergaulan intelektual dan bersentuhan dengan gagasan para pemikir sosial ekonomi, yang menganut ide modern welfare state.
Gagasan tentang Negara kesejahteraan di Indonesia diungkapkan oleh tokoh-tokoh the founding fathers. Soekarno mengusung propaganda anti- neoimperilaisme dan neokolonialisme, membangkitkan semangat perjuangan politik dan membangun ekonomi berdikari. Sjahrir menjadi pemimpin Partai Sosialis Indonesia menawarkan gagasan sosialisme ekonomi. Mohammad Hatta memelopori gerakan ekonomi rakyat melalui koperasi dan pasar sosial.
Ketiga tokoh itu, meski akhirnya menempuh jalan politik berbeda, memiliki gagasan sama dalam membangun negara kesejahteraan.