Keputusan pemerintah mengevaluasi program rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) merupakan langkah tepat. Sudah terlalu banyak keluhan orang tua murid tentang biaya pendidikan di RSBI yang sangat mahal. Sekolah ini dianggap cuma kedok untuk mencari keuntungan dari orang tua murid. Apalagi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjadi dasar penyelenggaraan RSBI pun kini sedang digugat ke Mahkamah Konstitusi.
Evaluasi serius atas program sekolah rintisan ini diperlukan karena muncul efek buruk yang merugikan, yaitu terciptanya kesenjangan di antara anak didik. RSBI adalah sekolah yang dibentuk sesuai dengan Pasal 50 ayat 3 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam undang-undang ini, pemerintah daerah diharuskan membuat sekolah bertaraf internasional, paling tidak satu sekolah untuk tiap jenjang pendidikan. Semangat undang-undang ini adalah terciptanya sekolah dengan mutu dan lulusan yang mampu bersaing di tingkat internasional.
Masalah muncul karena pemerintah mengizinkan sekolah rintisan memungut biaya tambahan dari orang tua murid. Dengan alasan sekolah khusus ini butuh biaya mahal, pengelola membebankan biaya pendidikan yang tinggi. Bantuan khusus pemerintah, sebesar Rp 300-500 juta per sekolah per tahun, terbukti tak bisa mengerem pungutan tambahan bagi orang tua yang anaknya diterima di sekolah rintisan. Bahkan, di banyak sekolah, biaya yang dibebankan kepada siswa mencapai 80 persen dari total biaya proses belajar-mengajar. Biaya itu termasuk biaya pemakaian penyejuk udara, alat peraga, dan perlengkapan multimedia.
Besarnya biaya itulah yang menjadi keluhan. Di tingkat sekolah dasar saja, misalnya, orang tua bisa dipungut biaya masuk hingga Rp 10 juta. Jauh lebih tinggi dibanding biaya sekolah dasar negeri biasa yang bahkan tidak dipungut uang masuk. Akibatnya, banyak anak yang sebetulnya cerdas, tapi tidak bisa diterima karena orang tuanya tidak mampu. Terciptanya sekolah unggulan dengan daya saing tinggi akhirnya hanya bisa dinikmati orang tua yang kaya. Tercipta garis pembeda antara anak yang masuk sekolah negeri biasa dan anak dari keluarga kaya yang masuk sekolah rintisan berbiaya mahal.
Sebetulnya, jika tujuan pemerintah meningkatkan mutu sekolah, Indonesia bisa mencontoh Malaysia. Pada 2003, saat Perdana Menteri Mahathir Muhammad berkuasa, Malaysia merancang program nasional Sekolah Bestari (Smart School). Lewat program ini, sekolah negeri wajib menerapkan kurikulum berstandar internasional dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Bedanya dengan Indonesia, pemerintah Malaysia tidak mengenakan sepeser pun biaya kepada orang tua murid. Ketika proyek Sekolah Bestari terbukti tak bisa mempercepat perbaikan mutu pendidikan anak Melayu, pemerintah Malaysia pun berani menghentikan program itu.
Bagi pemerintah Indonesia, waktu sembilan tahun sejak program RSBI dikenalkan sudah lebih dari cukup untuk melakukan evaluasi total. Pemerintah tak perlu menunggu putusan Mahkamah Konstitusi untuk menutup program yang lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya ini. Ada atau tidak ada RSBI, sesuai dengan amanat konstitusi, pemerintah wajib menyediakan sekolah bermutu yang biayanya terjangkau semua orang. Tak boleh ada kasta kaya-miskin dalam pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar