BOGORKITA - Percaya atau tidak. Bagi masyarakat Sunda yang tinggal di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, gunung Salak memiliki makna tersendiri, dan dianggap dijaga oleh makhluk gaib.
Gunung diyakini oleh masyarakat sebagai tempat bersemayam dan turunnya para Batara dari Kahyangan, untuk itu masyarakat Sunda klasik Sunda sering menyebut gunung sebagai kabuyutan. Peran gunung sebagai kabuyut dapat dilihat dari cerita-cerita rakyat dan juga tuturan para pini sepuh. Oleh masyarakat adat yang tinggal di desa Giri Jaya, gunung Salak merupakan kawasan yang penting, karena di gunung salak ini asal usul daerah dan kehidupan tersimpan. Gunung Salak juga menyimpan banyak misteri kehidupan, bagi siapa saja yang dapat menemukan atau mengerti rahasia yang terdapat di gunung Salak akan menjadi manusia arif. Pendapat mereka didasarkan atas tafsirannya mengenai asal nama Salak yang menjadi nama gunung ini. Menurut masyarakat, nama Salak berasal dari Siloka dan salaka yang berarti simbol atau tanda dan juga asal-usul.
Masyarakat adat ini setiap tahunnya sering menggelar acara-acara seremonial tradisi, seperti seren taun, muludan, dan lain-lain. Dalam pelaksanaan seremoni tradisi tersebut, penghormatan terhadap alam, Gunung Salak dalam hal ini dilakukan. Gunung Salak sangat dihormat oleh masyarakat.
Terlepas dari benar tidaknya pendapat masyarakat tentang makna gunung Salak, yang pasti hal tersebut adalah anggapan yang ada dan tetap hidup di masyarakat. Namun yang pasti, di Gunung Salak ditemukan benda arkeologis berupa bebatuan yang berbentuk Punden Berundak dari masa neolithikum atau zaman batu baru di daerah Bogor.
Tempat penemuan arkeologis itu sampai sekarang masih terjaga dan terawat dengan baik. Masyarakat meyakini bahwa di tempat tersebut pada masa lalu adalah pusat kekuasaan Sunda pada zaman baheula.
Sedangkan di daerah Girijaya juga selain terdapat batuan berupa Punden Berundak, walau lebih kecil dari yang terdapat di Bogor. Punden berundak yang terdapat di Jalur Girijaya, bila kita hendak mendaki puncak gunung Salak ini, dipercaya juga sebagai petilasan dari Eyang Santri ketika beliau berkhalwat.
Di daerah ini juga terdapat makan yang diyakini oleh masyarakat sebagai makam keramat. Pada malam hari, terutama malam-malam tertentu yang menurut anggapan masyarakat memiliki nuansa spiritual kuat, maka makan ini akan penuh dikunjungi oleh peziarah. Makam ini merupakan makan Eyang Santri yang menurut penuturan juru kunci serta keturunannya adalah seorang Waliyullah (kekasih Allah).
Eyang Santri adalah seorang putra keraton Solo yang lari dari kehidupan Keraton karena tidak puas dengan kebijakan yang diambil oleh keraton. Beliau lebih memilih berjuang melawan Belanda dan dakwah agama Islam.
Eyang Santri juga, menurut penuturan cucu-nya adalah seorang yang penting dalam perjuangan kemerdekaan. Beliau salah seorang yang membantu pendanaan Sumpah Pemuda serta menjadi inspirasi Bung Karno dalam penamaan Marhaen. Eyang Santri adalah sosok petani kecil yang ditemui Bung Karno ketika ia jalan-jalan di daerah Pasundan.
Makna Puncak
Dengan perspektif berbeda, seorang Arkeolog dari UI, Aris Munandar, berdasarkan penelitiannya pada masyarakat adat yang terdapat di Sindang Barang, Bogor, berpendapat bahwa kedua puncak yang terdapat di gunung Salak memiliki makna yang berbeda bagi masyarakat yang masih berpegang pada tradisi dan masih terpengaruh oleh ajaran Hindu. Munadar mengatakan bahwa Puncak Gajah ditafsirkan sebagai tempat bersemayamnya arwah raja-raja Sunda Kuno yang telah ngahyang. Sedangkan puncak Keramat ditafsirkan sebagai tempat persemayaman para Hyang, dewata Sunda Kuno, serta Raja-raja kerajaan Sunda.
Selain itu, masyarakat juga menganggap bahwa gunung Salak sebagai sebagai Paku Jagat atau Paku Tetenger bagi Pakuan Pajajaran. Mungkin sama dengan Merapi bagi masyarakat Jogja. Sedangkan bagi masyarakat Islam yang berkutat pada pencarian spiritualitas, diyakini bahwa di puncak keramat terdapat satu makam dari tokoh penyebar agama Islam yang berasal dari Cirebon, yaitu KH Hasan Basri yang bertugas menyebarkan agama Islam ke daerah Sunda seperti di Bogor, Sukabumi, Pelabuhan Ratu, dan Cianjur. Puncak Salak juga dianggap sebagai temapt berkumpulnya ghaib-ghaib Suci, seperti wali songo, dan lain-lain.
Sebagian masyarakat juga menganggap bahwa terdapat tiga pilar utama berupa gunung yang menopang kehidupan masyarakat Sunda, yakni Gunung Salak, Gunung Gede, dan Gunung Pangrango. Masyarakat menafsirkan ketiga gunung ini sebagai simbol dari huruf alif, lam, ha, ketiga kata ini yang kalau digabungkan akan menjadi satu kata, yaitu ilah yang berarti Allah atau Tuhan.
Sebagian masyarakat juga percaya bahwa tafsir dari ketiga hurup Arab tersebut adalah sebagai simbol dari ajaran kebaikan. Gunung Salak adalah simbol dari alif (huruf pertama dalam abjad Arab) yang berarti hubungan vertikal. Sedangkan Gunung Pangrango adalah simbol dari lam dan Gunung Gede simbol dari ha.
o Disadur dari Blog Merah Putih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar