TEMPO.CO, Medan - Silang pendapat soal klaim Malaysia terhadap tortor dan Gordang Sambilan--alat musik sembilan gendang berasal dari etnik suku Mandailing di Sumatera Utara--masih terjadi. Komunitas seniman dan budayawan di Kota Medan mengelar diskusi di Taman Budaya Medan, Senin 18 Juni 2012. Dalam diskusi itu para seniman di Medan malah mendukung langkah Perantauan Anak Mandailing, sebuah komunitas suku Mandailing yang bermukim di Perak, Malaysia.
Diskusi yang dipandu Direktur Pusat Latihan Opera Batak, Thompson Hutasoit, mendapat atensi dari berbagai kalangan. Tak hanya seniman dan budayawan yang penuhi ruang diskusi. Pelajar dan mahasiswa pun turut menikmati diskusi yang diakhiri dengan pertunjukan Gordang Sambilan. Para pembicara secara bersamaan dengan aspek berbeda, mendukung langkah komunitas suku Mandailing di Malaysia.
Dosen Fakultas Ilmu Sejarah dari Universitas Negeri Medan Flores Tanjung mengaku tak heran dengan pengklaiman itu. Pada 1995 hingga 1998, Flores yang merampungkan tesisnya, menemukan literatur lengkap perpindahan suku asal Indonesia pada perguruan tinggi di Malaysia. ”Di Perak, ada kampung Kampar, seluruhnya dihuni orang Kampar di Bekinang, Riau,” kata dia.
Flores juga menyinggung perpindahan warga, suku dari Indonesia, terutama dari Sumatera Utara, karena dialog politik antara Soekarno dan Perdana Menteri Malaysia pertama Tun Abdul Razak. ”Jadi jangan heran di kawasan Kinabalu, Sabah, di sana pun ada kampung bernama (marga Batak), seperti kampung Sipahutar dan orang-orangnya juga berbahasa Batak, mereka mengerti sekali garis turunannya,” kata dia.
Selama tiga tahun mengerjakan tesis di Kampar, Perak-Malaysia, Flores mengakui warga Indonesia secara kewarganegaraan mengaku warga Malaysia. ”Tapi mereka selalu bilang orang Mandailing, Kampar,” kata Flores.
Pendapat lain disampaikan Darma Lubis dan Tikwan Raya Siregar. ”Persoalan ini jangan dilihat parsial. Mereka sudah lama bermukim di Malaysia,” kata Darma. Tikwan mengkritisi sikap protes. Menurut dia, sikap tersebut tak lain karena produk pendidikan yang menganut sistem kolonial.
Seniman asal Medan, Idris Pasaribu, mengecam sikap pemerintah yang tidak peduli dengan kesenian dan kebudayaan bangsa sendiri. ”Ibarat istri cantik yang tidak diberikan perhatian dan dia akhirnya menerima perhatian dan kemanjaan dari pria lain. Kenapa kita marah,” kata Idris.
Di akhir diskusi, para seniman dan budayawan mendesak pemerintah lebih perhatian terhadap jutaan kesenian dan budaya agar secara legalisasi di dunia internasional diakui.
Diskusi yang dipandu Direktur Pusat Latihan Opera Batak, Thompson Hutasoit, mendapat atensi dari berbagai kalangan. Tak hanya seniman dan budayawan yang penuhi ruang diskusi. Pelajar dan mahasiswa pun turut menikmati diskusi yang diakhiri dengan pertunjukan Gordang Sambilan. Para pembicara secara bersamaan dengan aspek berbeda, mendukung langkah komunitas suku Mandailing di Malaysia.
Dosen Fakultas Ilmu Sejarah dari Universitas Negeri Medan Flores Tanjung mengaku tak heran dengan pengklaiman itu. Pada 1995 hingga 1998, Flores yang merampungkan tesisnya, menemukan literatur lengkap perpindahan suku asal Indonesia pada perguruan tinggi di Malaysia. ”Di Perak, ada kampung Kampar, seluruhnya dihuni orang Kampar di Bekinang, Riau,” kata dia.
Flores juga menyinggung perpindahan warga, suku dari Indonesia, terutama dari Sumatera Utara, karena dialog politik antara Soekarno dan Perdana Menteri Malaysia pertama Tun Abdul Razak. ”Jadi jangan heran di kawasan Kinabalu, Sabah, di sana pun ada kampung bernama (marga Batak), seperti kampung Sipahutar dan orang-orangnya juga berbahasa Batak, mereka mengerti sekali garis turunannya,” kata dia.
Selama tiga tahun mengerjakan tesis di Kampar, Perak-Malaysia, Flores mengakui warga Indonesia secara kewarganegaraan mengaku warga Malaysia. ”Tapi mereka selalu bilang orang Mandailing, Kampar,” kata Flores.
Pendapat lain disampaikan Darma Lubis dan Tikwan Raya Siregar. ”Persoalan ini jangan dilihat parsial. Mereka sudah lama bermukim di Malaysia,” kata Darma. Tikwan mengkritisi sikap protes. Menurut dia, sikap tersebut tak lain karena produk pendidikan yang menganut sistem kolonial.
Seniman asal Medan, Idris Pasaribu, mengecam sikap pemerintah yang tidak peduli dengan kesenian dan kebudayaan bangsa sendiri. ”Ibarat istri cantik yang tidak diberikan perhatian dan dia akhirnya menerima perhatian dan kemanjaan dari pria lain. Kenapa kita marah,” kata Idris.
Di akhir diskusi, para seniman dan budayawan mendesak pemerintah lebih perhatian terhadap jutaan kesenian dan budaya agar secara legalisasi di dunia internasional diakui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar