ANTARA News

Selasa, 05 Juni 2012

carut marut kurikulum TK-SD

Jakarta Gatot R pusing gara-gara anaknya gagal masuk Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) dekat dengan rumahnya di kawasan Kebayoran, Jakarta Selatan. Untuk masuk ke sekolah pelat merah itu, anaknya harus menghadapi tes baca-tulis-hitung (calistung) yang tak diajarkan di TK anaknya. Peraturan Pemerintah (PP) juga tak mensyaratkan calistung untuk masuk SD/MIN.

Kekecewaan ini didapatnya saat mendapati hasil ujian masuk di MIN itu yang diumumkan Senin (4/6/2012) kemarin. 

"Ada banyak, ada belasan anak dari TK anakku yang tidak masuk karena memang dari TK-nya tidak diajari baca-tulis-hitung," kata Gatot dalam perbincangan dengan detikcom, Selasa (5/6/2012).

Gatot jengkel bukan tanpa dasar. Dia sudah mencari peraturan yang mengatur tentang masuk sekolah, utamanya SD atau MI negeri milik pemerintah. PP 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. 

"Terutama pasal 69 dan 70. Dalam pasal tersebut antara lain disebutkan proses penerimaan murid baru untuk SD dan MI. Proses tersebut di antaranya bahwa SD dan MI tidak diperbolehkan mengadakan tes baca-tulis-berhitung (calistung) dan bentuk tes lain untuk penerimaan murid baru, pada pasal 69 ayat 5," jelas Gatot.

Berikut sebagian bunyi PP 17 tahun 2010 itu yang ditelusuri detikcom:
Pasal 69
(5) Penerimaan peserta didik kelas 1 (satu) SD/MI atau bentuk lain yang sederajat tidak didasarkan pada hasil tes kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, atau bentuk tes lain.

Pasal 70
(1) Dalam hal jumlah calon peserta didik melebihi daya tampung satuan pendidikan, maka pemilihan peserta didik pada SD/MI berdasarkan pada usia calon peserta didik dengan prioritas dari yang paling tua.
(2) Jika usia calon peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sama, maka penentuan
peserta didik didasarkan pada jarak tempat tinggal calon peserta didik yang paling dekat dengan satuan pendidikan.
(3) Jika usia dan/atau jarak tempat tinggal calon peserta didik dengan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sama, maka peserta didik yang mendaftar lebih awal diprioritaskan.

Gatot gusar karena PP itu ternyata tidak dijalankan oleh satuan penyelenggara pendidikan itu. 

"Dalam pengumuman terpampang dengan jelas bahwa pendaftar yang lulus adalah pendaftar yang mempunyai skor tertinggi pada tes baca-tulis-hitung yang diadakan pada 28 April lalu," jelas dia.

Menurut guru penanggung jawab proses penerimaan murid baru, imbuhnya, sebelum tes ini mereka telah melakukan seleksi berdasarkan umur dan tempat tinggal. Namun karena alasan jumlah pendaftar melebihi kapasitas dan untuk menjaga mutu sekolah, maka diadakan tes. 

Mereka mengacu pada Keputusan Kanwil Kementerian Agama Prov DKI Jakarta no: KW.09.4/1/HK.005/ /2012 tentang Petunjuk Teknis Penerimaan Peserta Murid Baru di lingkungan Kanwil Agama Provinsi DKI Jakarta tahun 2012/2013. Terutama pasal 9 dan 10. 

"Sekolah ini tidak mengadakan proses akhir berupa proritas pendaftar lebih dahulu. Sungguh aneh. Bagaimana mungkin petunjuk teknis tersebut bertentangan dengan aturan di atasnya yang sudah sangat jelas?" gugat Gatot.

Dia sudah menyurati Kemendikbud atas hal ini, namun tak ada balasan. Gatot disuruh bertanya kepada Kemenag yang membawahi Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN).

Pungli

Lain lagi dengan yang dialami Nina (bukan nama sebenarnya, red). Anaknya yang mendaftar ke salah satu SDN berstatus Sekolah Standar Nasional (SSN) di kawasan Pondok Kelapa, Jakarta Timur, memang tidak menghadapi tes calistung. 

"Hanya psikotes hari pertama, seperti gambar-gambar. Hari kedua keterampilan seperti menggunting dan wawancara," jelas Nina ketika berbincang dengan detikcom.

Hanya saja, anaknya yang sudah menunda setahun masuk SD karena tak cukup usia itu tidak lulus. Nina heran, padahal anaknya tidak mengeluhkan proses seleksi di SD itu.

"Anak yang duduk sebangku dengan anak saya malah suka tanya-tanya sama anak saya, dia yang lulus," kata Nina.

Nina kemudian mencari tahu, melalui guru TK anaknya, diketahui bahwa anak yang lulus itu 'titipan', dengan syarat harus menyetor Rp 6 juta sampai Rp 7 juta kepada sekolah itu.

"Saya tahu orangnya, saya tahu guru TK-nya yang membantu dan tahu setelah mendapat bocoran guru TK-nya yang menjadi penghubung ke guru SD itu," jelas Nina.

Dari TK anaknya, dari 56 murid, ada 4-5 anak yang 'dititipkan' orang tuanya. Namun Nina tak mau meniru orang tua yang 'menitip' itu.

"Bisa nggak sih ini diberantas buat ke depannya? Kenapa nggak jujur saja? Itu dari sisi orang tuanya jangan seperti itulah. Anaknya kurang mampu dipaksain sekolah standar tinggi, kasihan," jelas Nina yang pesimis keluhannya didengar pemerintah.

Kini, Nina berharap anaknya masuk ke sekolah SD reguler, melalui pendaftaran online. "Yang pertama buka SD RSBI, kemudian SSN, yang sekarang sedang buka reguler," jelas Nina.

Bila Anda punya permasalahan serupa, bisa ceritakan ke redaksi@detik.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar